Kerajinan Wayang Kulit Desa Pucung

Ada banyak sekali hal menarik yang bisa kita jumpai jika berkunjung di Yogyakarta. Anda tentu saja sudah sangat mengenal dan familiar dnegan kota yang satu ini.

Selain dikenal sebagai kota pendidikan, Jogja juga dikenal sebagai kota budaya yang memiliki banyak sekali ragam budaya yang mampu menarik banyak wisatawan dari berbagai wilayah di Indonesia bahkan juga wisatawan mancanegara.

kota Jogja tidak akan membuat liburan anda terasa hampa. Akan ada banyak sekali objek wisata menarik yang bisa anda kunjungi mulai dari keraton, taman sari, malioboro, beragam monument, museum, bangunan tradisional jogja dan juga ada banyak sekali desa wisata.

Yogyakarta
Tugu jogja Sumber:https://id.pinterest.com/

Memilih  desa wisata sebagai pilihan liburan bisa menjadi pilihan yang sangat tepat. Salah satu desa wisata yang bisa anda pilih adalah Desa wisata Pucung. Desa wisata yang satu ini sangat menarik karena menawarkan pemandangan alam yang masih sangat alami. Pengunjung bisa menikmati suasana khas pedesaan di desa wisata yang satu ini.

Di sini kami akan memberikan anda tentang fakta menari dari desa wisata pucung. Apa saja? yaitu:

Fakta Desa Wisata Pucung

1. Mampu Memproduksi 5000 Wayang

Di kawasan ini terdapat 830 perajin dan 51 Industri Kecil dan Menengah (IKM). Dalam sebulan mampu memproduksi wayang kulit hingga turunan produk lainnya seperti  kipas sampai gantungan kunci. Kualitas wayang kulit yang dihasilkan dibedakan halus, sedang dan kasar. Semakin halus  kualitas wayang, akan semakin mahal pula harganya.

Fakta lainnya, para perajin wayang umumnya mampu membuat aneka turunan  produk kulit. Sebaliknya, perajin kap lampu, gantungan kunci atau kipas belum tentu bisa membuat wayang karena membutuhkan  keahlian khsusus.

Baca Juga : Mengenal Lebih Dekat PO Bus Rute Jogja-Jakarta Terfavorit

Harga wayang kulit sekitar Rp 10 juta sampai ratusan juga rupiah yang umumnya pesanan khsusus dari  wisatawan atau penggemar wayang kulit dari luar negeri. Umumnya hasil karya perajin di ekspor ke Belanda, Australia, Jerman sampai Selandia Baru.

2. Dibangun Gazebo dan Homestay di Rumah Penduduk

Selama ini hanya ada beberapa warga sekitar yang menyediakan fasilitas menginap bagi wisatawan domestik atau mancanegara. Namun, di masa depan para penduduk yang umumnya perajin wayang bersama-sama melengkapi fasilitas menginap dalam satu paket wisata. Pengunjung direncanakan bisa mempelajari atau membuat wayang dari para perajin. Selanjutnya, wayang hasil buatannya bisa dibawa pulang sebagai cinderamata. 

Kawasan Pucung Wukirsari ini sudah dilengkapi gasebo sebagai tempat menyambut para wisatawan termasuk kantong parkir yang mampu menampung bus berbadan besar.

Bahkan, dalam waktu tak lama lagi dibangun sentra pertunjukan wayang kulit atau pentas seni lainnya agar wisatawan semakin nyaman berkunjung.

Desa Pucung
Salah satu homestay di desa pucung Sumber: https://www.tiket.com/

3. Lebih Senang Menggunakan Kulit Kerbau Ketimbang Sapi

Perajin di kawasan ini lebih senang menggunakan kulit kerbau lantaran bisa digunakan untuk membuat wayang besar dan medium. Meski dibanderol sekitar Rp 80 ribu per kilogram atau lebih mahal ketimbang kulit sapi kualitas wayang yang dihasilkan lebih bagus dan bisa tahan lama karena tidak mengandung banyak lemak.

Sedangkan kulit sapi atau kambing biasanya digunakan untuk membuat kap lampu serta harus didatangkan dari sumatera atau kalimantan lantaran harus berebut dengan industri besar  yang juga mengandalkan kulit sebagai bahan baku produksinya.

4. Mulai Memperhatikan Regenerasi Pengrajin Wayang

Paguyuban mulai memikirkan eksistensi kerajinan wayang kulit dan turunnya dengan menyiapkan regenerasi. Muatan lokal tentang kesenian dan kerajinan wayang mulai diajarkan di kelas 4 sekolah dasar (SD). Bahkan, paguyuban akan menyediakan kursus gratis agar kesenian adiluhung ini tidak musnah dari Indonesia.

Baca Juga : Mengenal Lebah Trigona Dan Cara Pembudidayaannya

5. Sejarah Desa Pucung

Sejarah Pucung menjadi kampung peng¬rajin wayang berawal dari kehadiran Mbah Atmo Karyo atau biasa disebut Mbah Glemboh, Lurah (kepala desa) Dusun Pucung pada tahun 1917, sebelum Pucung berubah nama menjadi Du¬sun Karangasem.

Pada zaman dulu, untuk menjadi seorang lurah harus mendapatkan pelatihan dari panewon (ke¬camatan).Panewon memiliki hubu¬ngan langsung dengan Keraton. Pelatihan¬nya pun dibina langsung oleh Sultan. Pada masa itu, Sultan yang bertahta adalah Hamengkubuwono VII. Secara tidak langsung, Mbah Glemboh pun men¬jadi abdi dalem Keraton.

Karena kedekatannya dengan Sultan, Mbah Glemboh kemudian diberi tugas untuk merawat dan menjaga wayang keraton. Kemudian pada tahun 1918, Mbah Glemboh tertarik membuat wayang sendiri. Dirumahnya, Ia belajar menatah wayang, dibantu oleh empat orang tetangganya yaitu Mbah Reso Mbulu, Mbah Cermo, Mbah Karyo, dan Mbah Sumo.

Desa Pucung
Ilustrasi pembuatan wayang Sumber: https://bisniswisata.co.id/

Awalnya, wayang kulit buatan Mbah Glemboh hendak dibawa ke keraton, untuk diperlihatkan kepada Sultan.Namun ditengah perjalanan, Be¬landa melihat hasil karya tersebut lalu membeli semuanya.

Ternyata tidak hanya Belanda yang tertarik, pemilik salah satu toko batik terkenal yang kebetulan melihat, membawa wayang itu, kemudian membeli dan memajang wayang Mbah Glemboh ditoko batiknya.Hingga tahun 1930, Mbah Glemboh masih membuat wayang bersama keempat temannya beserta anak-anak mereka.

Kemudian pada tahun 1970, PT Sarinah (perusahaan BUMN di Jakarta) datang ke Yogyakarta dan tertarik dengan wayang kulit hasil karya warga Pucung.Lama kelamaan, wayang kulit Mbah Glemboh makin dikenal dan laris dibeli pelanggan.

Dan itulah beberapa fakta mengenai desa pucng pengrajin wayang. Buat anda yang ingin mengadakan semiar online bisa kunjungi paket seminar kit. Di situ anda akan dibantu dalam membuat seminar anda menjadi sukses.

Semoga dengan artikel di atas dapat mengembangkan wawasan anda seputar budaya yang ada di indonesia khusunya daerah yogyakarta. Selamat membaca dan terimakasih.

Tinggalkan Balasan